Minggu, 13 Februari 2011

NOTULENSI JUMPA RUTIN PELATIH

1. Pitaran Pelatih Kota Bekasi diundur pelaksanaannya menjadi tanggal 5-6 Maret 2011
2. Tempat pelaksanaan kegiatan diubah menjadi di Megamendung Puncak Bogor
3. Biaya diubah menjadi Rp.200.000 untuk Pelatih Kota Bekasi dan Rp.300.000 untuk diluar Kota Bekasi\
4. Pendaftaran terakhir pada tanggal 2 Maret 2011
5. Humas, informasi dan pendaftaran melalui Kordinator wilayah yang ditunjuk untuk kegiatan Pitaran
    a. Bekasi Timur   : Kak Nambri Irawan, Kak H.Karyadi Jaya
    b. Bekasi Selatan : Kak Dalim Mahpudin, Kak Dedi Suryadi
    c. Bekasi Barat    : Kak Uri Trihandayani, Kak Vivoni Sentana
    d. Medan Satria   : Kak Aji Husein, Kak Ilyassin
    e. Bekasi Utara    : Kak Benny Sasake, Kak Sugeng Basuki
    f.  Rawa Lumbu   : Kak Kodir Rahayu, Kak Suminah
    g. Bantar Gebang : Kak Yahya, Kak Komarudin
    h. Pondok Gede   : Kak Nahrowi, Kak Marjuki
    i.  Pondok Melati  : Kak Asep Sjarifudin, Kak Karlan
    j.  Jati Asih           : Kak Cecep Sumarna
    k. Jati Sampurna   : Kak Bambang Suryono, Kak Kamto Maruni

6. Undangan akan disebar mulai dari tanggal 25 Februari 2011

Rabu, 09 Februari 2011

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA INDONESIA Oleh: Joko Mursitho

Makalah disajikan dalam seminar ilmiah mahasiswa dan dosen Universitas Trisakti, di Jakarta.
Tanggal: 15 Juli 2010

Karakter manusia Indonesia ini tidak jatuh dari langit. Karakter ini lahir dan tumbuh karena keadaan yang mendasarinya. Setidaknya beberapa hal yang bisa disebutkan di sini.
Pertama, masyarakat Indonesia terkooptasi oleh kebudayaan feodal, jaman kerajaan-kerajaan, dengan cirinya selain agraris juga masyarakat yang di gumuli oleh mentalitet 'ndoroisme dengan dayang-dayang /kuli /batur. Budaya ini yang menyebabkan generasi keturunan bangsawan menjadi anak-anak yang manja, sedangkan keturunan rakyat kecil menjadi tidak mandiri, dan sangat bergantung kepada pemimpin (patron client).
Kedua: Penjajah Belanda selama 350 tahun lebih memperdalam mentalitet ini dengan merendahkan derajat para pribumi sebagai warga nomor dua atau nomor tiga dalam konstelasi negara. Anggapan yang diterima
begitu saja oleh rakyat Indonesia ini akhirnya membentuk karakter bangsa yang lebih menghargai, dan lebih menghormati bangsa lain daripada bangsanya sendiri. Hal ini nampak dari kecintaan anak-anak muda
dengan produk-produk buatan luar negeri, lebih bangga jenis-jenis olah raga yang datang dari luar negeri
daripada jenis olahraga milik bangsa sendiri yang tidak kalah hebatnya. Kita lebih bangga dengan karate, judo, taikwondo ketimbang silat yang sebenarnya tidak kalah hebatnya dengan olahraga tersebut.
Ketiga: Tony Doludea di Jakarta, Jumat (16/3/2010) mengatakan karakter manusia Indonesia adalah mudah
iri hati, picik, dan tidak menyadari solidaritas untuk tujuan bersama. Mereka juga suka memperoleh sesuatu
secara instan, mengabaikan proses dan kerja keras, percaya terhadap klenik, dan tidak dapat menerima
kekalahan. Ini bisa kita petik dari perilaku konflik di Papua hanya karena satu pihak membela kesebelasan
Belanda dan pihak lain membela kesebelasan Spanyol di final piala dunia 11 Juli 2010, yang keduanya tidak
ada hubungan emosional apapun. Konflik antar pendukung calon bupati/walikota, dan persaingan yang tidak
sehat dalam kampanye Pemilu Calon legislatif 2009, di mana terdapat 6 orang yang bunuh diri dan 2 orang
yang gila.

Karakter manusia Indonesia, mulai dari politisi, akademisi, intelektual, pemimpin, tokoh agama, hingga orang awam dan rakyat miskin, kata Tony Doludea sedang berada di titik nadir. Kita seakan-akan bisa menerima dengan pasrah puisi Taufik Ismail yang bertajuk Malu (Aku) Menjadi Bangsa Indonesia. Musibah-musibah transportasi, bencana alam, dan kesalahan teknologi seperti kasus Lapindo, adalah rangkaian sejarah panjang ”ulah tangan manusia yang dibelenggu oleh keserakahan”. Teknologi yang dibangga-banggakan manusia ternyata banyak membawa bencana pada kehidupan manusia.

Di bidang pertanian para petani sudah meninggalkan pupuk kandang, dan menggantikannya dengan pupuk buatan, sehingga lama kelamaan tanah menjadi keras dan tandus. Orang menciptakan insektisida sebagai pemunah hama, akibatnya banyak predator mati, binatang-binatang yang berguna bagi kehidupan petanipun ikut mati; sedangkan hamanya sendiri menciptakan resistensi atau kekebalan kekebalan baru atas insektisida yang telah dibuat para ahli itu, sehingga muncullah hama jenis-jenis baru yang kebal terhadap insektisida.

Di bidang persenjataan, dahulunya diciptakan hanya sebagai alat pelindung terhadap binatang buas, dan pertahanan diri terhadap tindak kejahatan, kini senjata telah dibawa oleh para penjahat dengan bebas, teknologinya telah diadopsi penjahat, dan digunakan untuk merampok bank-bank, membunuh korban,
disertai tindak kekerasan yang kadang-kadang disertai dengan cara-cara yang sadis. Celakanya senjata bahkan dipergunakan oleh negara adidaya sebagai pemunah peradaban, untuk mengebomi rakyat Irak dalam Perang Teluk, menembaki rakyat Palestina di jalur Gazza, dipergunakan untuk mengebomi rakyat sipil Afganistan yang tidak berdosa, dan kini dipergunakan kembali untuk menghancurkan peradaban di Irak yang justru menimbulkan perang saudara yang akan berkepanjangan sampai saat ini.

Di bidang eksplorasi, pengeboran-pengeboran sumur minyak dan penggalian hasil tambang dilakukan di darat di laut, tanpa memperhatikan keseimbangan sistem, dan kelangsungan pembangunan (sustainable development), akibatnya seluruh isi bumi yang penting-penting dikeluarkan, minyak bumi, biji besi, emas, perak, timah, nikel, bauksit, batu-bara, gas alam, uranium, sehingga untuk kelangsungan hidup bangsa di masa mendatang tidak diperhitungkan lagi, sebagai contoh minyak bumi kita tinggal tersisa 18 tahun. Semuanya ini adalah karena manusia telah terseret kepada budaya profanistis yang tak terkendali.

Kota-kota di Indonesia saat ini ibarat bangkai sampah raksasa, yang semua lapisan buminya dipenuhi dengan beton dan aspal, sehingga sudah tidak ada tempat untuk resapan air lagi, ekosistem sudah sangat terganggu maka ketika hujan datang, banjir pun melanda. Sungai-sungai yang dahulu jernih mengalir kini menjadi timbunan sampah-sampah jorok dan berbau, sehingga kemampuan ”Sang Sungai” membersihkan dirinya secara alami sudah tidak kuat lagi. Tanah dan pasir kita dari sekitar Bengkalis sampai Tanjung balai Karimun dikeruk, dijual untuk reklamasi pantai Singapura, sehingga negara Singapura semakin meluas, sedangkan perairan kita menjadi semakin mnyempit. Terumbu karang lautan yang indah-indah kini telah berpindah ke rumah-rumah mewah, berikut satwa dan burung-burung hutannya yang langka. Kini alam kita menangis karena ulah manusia yang tidak bertanggung-jawab. Belum lagi rumah-rumah kaca, dan gas-gas LPG yang telah merusakkan lapisan ozon kita.

Di bidang informasi, rakyat kita telah diracuni melalui televisi, internet, koran, majalah, yang sarat iklan, telenovela, gosip, ceritera-ceritera fitnah, perselingkuhan yang tidak mendidik, dengan dominasi informasi Barat yang lebih banyak menyesatkan. Informasi yang menyuarakan “West is The Best”, budaya prafiguratif yang tanpa kontrol norma, sehingga hasilnya di negara kita adalah; (1) remaja kita sudah senang beralkohol karena tokoh-tokoh jagoan dalam film juga menenggak alkohol, (2) korban narkotika semakin merebak di mana-mana, (3) perempuan berpakaian ketat sekali, atau bahkan minim sekali sehingga sama dengan tidak berpakaian sehingga mengundang berbagai perbuatan asusila, lelakinya memakai anting, rambutnya dikucir, dengan jean belel, duduk-duduk di Mall, dengan menenggak soft drink, mereka kini semua sudah American style; (4) Perselingkuhan di negeri ini menjadi sangat marak terjadi di mana-mana; antara pejabat dengan bawahannya, antara teman sekerja, antar tetangga sungguh sangat mengerikan (5) pertunjukkan yang lebih mengeksploitasi bentuk tubuh wanita tidak hanya terjadi di kota-kota tetapi sudah merambah ke desa-desa. (6) remaja tani di desa-desa sudah tidak mau lagi ke sawah mereka terobsesi mencari pekerjaan di kota-kota, mereka berbondong-bondong pergi ke Ibukota, tanpa keterampilan. Akibatnya mereka menjadi polutan bagi kehidupan kota, mendirikan bangunan-bangunan di dekat rel kereta api, di lahan-lahan kosong yang seharusnya menjadi paru-paru kota, bahkan di bawah jembatan-jembatan layang; (7) prostitusi, bar, cafe-cafe, night-club semakin berkembang, dan semakin menjerumuskan peradaban manusia ke jurang yang lebih sesat. (8) Iklan-iklan televisi telah merubah kesantunan menjadi kesombongan dan kepongahan, semua
kesuksesan saat ini parameternya adalah “harta” dan modal simbolik yang berupa kedudukan, dan gengsi. (9) Perbuatan baik remaja atau generasi muda tidak pernah diekspose di TV atau internet, tetapi perbuatan asusila dua atau tiga orang saja sudah menjadi highlight di setiap media; contohnya anak-anak Pramuka menanam lebih dari 1000 pohon bakai di pulau Nipah (pulau ter luar Indonesia) tidak masuk di berita nasional, tetapi sesosok Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari luar biasa perhatian publik, sehingga orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Anak-anak SMP, SMA, dan mahasiswa hampir semua pernah melihat film yang tidak senonoh, contoh yang menyesatkan, jauh dari nalai-nilai moral bangsa Indonesia.

Di sini nampak bahwa media masih melakukan keberpihakannya bahwa bagi media ”bad news is good news”. Kebanggaan akan demokrasi liberal ala Barat telah menjerumuskan perilaku bebas yang tanpa kendali, demonstrasi yang bersifat memaksakan dan anarkhis, pengrusakan kantor-kantor, bangunan, pembakaran-pembakaran, bahkan sampai pemukulan-pemukulan sehingga menimbulkan meninggalnya seorang ketua DPRD Sumatera Utara. Hancurnya kampus di makasar, dan terbakarnya laboratorium olah
mahasiswanya sendiri.

Di bidang usaha terjadi penumpukan harta milik pribadi yang berlebih-lebihan, konglomerasi yang tidak memihak kepentingan rakyat banyak. Hak memperoleh perlindungan hukum yang digunakan oleh para koruptor kelas kakap dan para manipulator yang merugikan kekayaan negara, kekayaan rakyat, dan bahkan kekayaan peradaban. Mereka membeli hukum untuk melindungi kekayaannya, karena institusi hukum kita sangat rapuh, baik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman masih menjadi tempat yang nyaman untuk perlindungan koruptor dn manipulator. Untuk menegakkan keadilan di Indonesia masih seakan-akan seperti menegakkan benang basah.

Kebebasan yang tanpa kendali juga menimbulkan konflik-konflik: di tingkat elit politik, antar suku, antar golongan, antar sekolah, antar desa, antar agama, antar daerah perbatasan, konflik dalam tubuh satu agama bahkan antar angkatan yang frontal sehingga menimbulkan banyak korban, dan memecahbelah persatuan.

Bangsa kita memang gudangnya teoritikus, yang nampak garang dan gagah manakala mendiskusikan dan merumuskan sebuah konsep, namun hampir menjadi nihil, bahkan bertotak belakang dalam pengaplikasiannya. Tidak sesuainya antara kata dan perbuatan adalah langkah awal bagi penjerumusan karakter.

Pertanyaannya adalah kenapa hal ini terjadi? Akan lebih baik bila kita tinjau akar permasalahannya dari ketiga institusi pendidikan yang ada di negeri tercinta ini.

Lembaga pendidikan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama saat ini tidak berfungsi dengan baik, dalam mendidik karakter bangsa. Orang tua saat ini sangat sibuk mencari nafkah, mencari kenikmatan, mencari terobosan-terobosan usaha sehingga melupakan kewajibannya dalam mendidik anak.
Anak-anak di rumah tidak dididik untuk ulet, mandiri, tangguh dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Sebaliknya anak-anak dibiarkan menjadi anak-anak yang sangat tergantung, bagi anak-anak golongan menengah ke atas mereka dibiarkan tergantung kepada pembantu, bagi anak-anak kelas bawah mereka dibiarkan bergantung kepada lingkungan sekitar, dan bahkan bagi anak kelas terbawah mereka dibiarkan tergantung pada keramaian jalan raya dengan jual koran, menyemir sepatu, mengamen, bahkan mengemis, atau bekerja apa adanya secara tidak produktif. Orang tua sudah sangat mengandalkan pendidikan anaknya pada sekolah, di sinilah keakraban antara anak dan orang tua menjadi berkurang. Orang tua merasa bahwa tugas utamanya hanya membiayai anaknya untuk sekolah?? Di sinilah letaknya pendidikan karakter menjadi terabaikan. Hampir tidak terjadi orang tua berceritera tentang sejarah nabi-nabi, ceritera kepahlawanan, ceritera tentang budi pekerti luhur pada anak-anaknya menjelang anaknya tidur. Anak tidak dididik untuk sopan santun, padahal sopan santun adalah mata uang yang berlaku di dunia manapun. Akibatnya anak-anak menjadi tidak menghargai orang-tua, tidak menghargai guru, dan tidak menghargai orang yang lebih tua.
Budaya profanistis ini mendidik anak-anak hanya menghargai kepada siapa yang memberi. Fenomena yang nampak adalah terjadinya pilkada di era demokrasi ini. Ketika terjadi pilihan walikota/bupati dan gubernur, ternyata kita tidak menghasilkan orang terbaik yang menjadi pemimpin tetapi hanya menghasilkan orang yang berani menonjolkan diri sebagai pemimpin.

Dalam lembaga pendidikan formal di sekolah, terjadi hal yang sama dengan yang ada di lembaga pendidikan keluarga. Ternyata sekolah di negeri persada ini guru-guru dibebani bahkan dituntut oleh kurikulum yang sangat padat, sehingga guru-guru hanya mementingkan ”mengajar” dan tidak ”mendidik”, dalam mengajar guru hanya melakukan transfer of knowledge – transfer of skill, sedangkan dalam mendidik seorang guru harus mentransfer tiga ranah pendidikan yakni transfer of knowledge, transfer of skill, dan transfer of attitude. Inilah yang menyebabkan anak-anak hanya berkembang kecerdasan rasionya dan tidak berkembang kecerdasan emosional, spiritual, dan sosialnya. Guru hanya menanyakan tentang ”pekerjaan rumah” yang ditugaskan kepada anak muridnya, memeriksa hasil-hasil ulangan, dan tidak memeriksa sikap, tingkah-laku anak, atau karakter anak. Hasilnya adalah anak-anak tawuran di sekolah, anak-anak nyontek, bahkan guru-guru memberitahu kunci jawaban ketika terjadi ujian nasional. Banyaknya pembohong dan koruptor di negeri ini dimulai dari pembiaran nyontek, dan kecurangan di kelas. Dalam pendidikan non formal yang terjadi di masyarakat, nampaknya masih kurang efektif. Kursus-kursus yang short-term hanya memberikan skill agar orang mudah untuk memperoleh lapangan kerja. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang aktif dalam mendidik karakter sedikit sekali jumlahnya, itupun belum bisa menanamkan jiwa persatuan dan kesatuan bangsa. Hasilnya adalah saling ejek, dan akhirnya terjadi konflik masal seperti yang terjadi di Maluku, ditambah lagi munculnya ajaran yang menyesatkan sehingga terlahir berbagai aliran-aliran yang bertolak belakang dengan syar’i. Olahraga yang sifatnya universal dengan biaya bertriliun-triliun telah menghasilkan fanatisme buta di kalangan pendukungnya sehingga melahirkan keberanian yang akhirnya melanggar peraturan yakni jatuh dari atas gerbong kereta api, melempari para penumpang umum, jajan tidak bayar, bahkan perkelahian massal cukup menelan banyak korban.

Bagaimana solusinya?

Pendidikan baik di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat seharusnya mendidik anak-anak untuk mengembangkan:
Pertama, kecerdasan spiritual. Menurut Steven R. Covey dalam penelitiannya bahwa kecerdasan spiritual adalah dasar daripada kecerdasan lainnya. Manakala kecerdasan spiritualnya tinggi, maka kecerdasan lainnya akan mengikuti. Bagaimana anak-anak diajak patuh dalam menjalankan agamanya, bagaimana anak-anak diajak untuk melihat kebesaran dan kekuasaan Tuhan lewat ilmu pengetahuan (bukan lewat tahayul). Bagaimana anak-anak diajak khusu’ dalam berdoa. Selama ini anak-anak baru dikenalkan dengan ”ritual” nya agama, belum sampai menghayati kepada spiritualnya agama.

Kedua, anak-anak diajak untuk cerdas emosionalnya. Anak-anak dilatih untuk mandiri, dilatih untuk cinta kerja, dilatih untuk tahan uji, dilatih untuk ulet dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika bahwa orang-orang yang berhasil ternyata adalah orang yang kecerdasan emosionalnya lebih tinggi daripada kecerdasan intelektualnya.

Ketiga, anak-anak dilatih kecerdasan sosialnya. Bagaimana anak-anak learn to live together. Belajar menghargai orang lain, karena manusia sangat sulit hidup bahkan hampir tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Anak-anak dilatih tidak hanya bagaimana ia menerima, tetapi dilatih untuk bagaimana memberi, dilatih untuk menghargai orang lain, dilatih untuk menghargai pendapat orang lain, dilatih untuk menghormati orang lain. Jiwa individualistis (sebagai sifat dasar manusia) lebih dikurangi dan dibentuk jiwa kolektifnya, dibentuk kesadaran sosialnya, karena di dalam hidup bersama tadi ada learning to earn (belajar mencari nafkah), yang memungkinkan akan terjadinya gesekan kepentingan-kepentingan yang nantinya akan menimbulkan konflik. Gesekan kepentingan ini manakala dibingkai oleh kerangka kesadaran sosialnya maka akan mengarah kepada persaingan yang sehat, kompetisi yang produktif dan tidak menimbulkan permusuhan seperti yang marak terjadi saat ini. Di dalam learning to live together juga harus ditanamkan learning to serve, belajar untuk melayani sebagai hakekat dari kehidupan di masyarakat. Yang terjadi saat ini bahwa anak-anak selalu dibiasakan untuk dilayani sejak kecil dan tidak dididik untuk belajar melayani.

Keempat, setelah kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial maka anak-anak barulah dikembangkan kecerdasan intelektualnya. Kenapa saya meletakkan kecerdasan intelektual pada peringkat yang keempat, padahal di sekolah kecerdasan intelektual adalah berada pada skala prioritas yang pertama. Alasannya adalah manakala kecerdasan intelektual ini berkembang lebih dahulu dan tidak dilapisi oleh ketiga pengembangan kecerdasan yang tersebut di atas, maka akibatnya akan fatal dalam kesinambungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Naluri manusia untuk ingin tahu (learning to know) dan ingin melakukan sesuatu (learning to do) sudah ada sejak lahir, sehingga tidak perlu dinomorsatukan memang pada dasarnya anak-anak sudah menempatkannya diurutan pertama. Oleh karena itu pengembangan nalar harus diarahkan kepada sesuatu yang sifatnya normatif. Di dalam ajaran agama Islam kalau manusia belajar (iqra) itu harus dibingkai dengan nilai-nilai, dibungkus dengan norma-norma spiritual (bismirRabbika). Banyak contoh kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan oleh para tokoh sosiologi yang hanya mengembangkan kecerdasan nalar tanpa dibungkus oleh kecerdasan spiritual, seperti halnya Karl Marx, Bertrand Russel, dan Nietche yang menyatakan Tuhan telah mati. Benar memang apa yang dikatakan Rene Descartes tentang Cogito Ergo Sum, dalam konsteks psikologis, tetapi dalam konteks sosial, konteks kemasyarakatan, hal tersebut tidak bisa dibenarkan.

Kelima, perlunya dikembangkan kecerdasan fisik atau kinestetik. Olahraga yang baik, diperlukan untuk kesehatan dan kebugaran tubuh, serta ketahanan mental, dengan jasmani yang sehat akan terbina mental yang kuat. Oleh karena itu sedari kecil akan-anak hendaknya sudah dijauhkan dari merokok, yang nyata-nyata tidak bermanfaat bagi kesehatan. Dengan jasmani yang sehat keuletan, ketangguhan di dalam menghadapi sesuatu masalah akan terbina.

Referensi:
1. Ahmad Husein Ritonga. Dr.,MA., 2002, Menggapai Ikhlas Dalam Ibadah dan
Muamalah, CV Misaka Galiza, Jakarta
2. Alfian, 1989, The Impact of Television in Indonesian Villages, Dep.
PeneranganRI, Jakarta
3. Azyumardi Azra. Prof. Dr., 1998, Esei-Esei Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta

4. Azyumardi Azra. Prof. Dr., 1999, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan fakta
dan Tantangan, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung
5. Bobbi DePorter & Mike Hernacki, 2001, Quantum Learning, Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan, (terjemahan,) Penerbit Kaifa, Bandung.
6. Bobbi dePorter, Mark Reardon, M.S., Sarah Singer-Nourie, MA., 2000,
Quantum Teaching: Orchestrating Student Success (Terjemahan), PT Mizan Pustaka,
Bandung
7. Burhanuddin, dkk., 1995, Profesi Keguruan, Penerbit IKIP Malang
8. Fisher. Aubrey. B., 1986, Rakhmat. Djalaluddin. (ed), Teori Teori
Komunikasi, Penerbit Remaja Roda Karya, Bandung
9. Geertz. Holdred, 1981, Aneka Budaya dan Komunikasi di Indonesia, Yayasan
Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta
10.Gloria Net, (2004), Dunia Anak: Jangan Remehkan Pengaruh Televisi, Jurnal
Gloria Cyber Ministries, 2000-2004.
11.Gordon Dryden & Dr. jeanette Vos, 2000, Revolusi Cara Belajar, The learning
Revolution, Bagian I & II, (terjemahan), Penerbit Kaifa, Bandung
12.Hajah Irene Handono, et al, 2004, Islam Dihujat, Menjawab Buku The Islamic
Invasion (Karya Robert Morey), Edisi Revisi, Bima Rodheta, Kudus, Indonesia
13.Imam Al-Gahzali, 1997, Penyelamat dari Kesesatan (Terjemahan dari Al-Munqidz
Minadh-Dhalal), Penerbit Risalah Gusti, Surabaya
14.Indra Djati Sidi, P.Hd., 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma
Baru Pendidikan, Paramadina & Logis Wacana Ilmu, Jakarta
15.Jalaluddin Rakhmat, 1993, Islam Aktual, Penerbit Mizan, Bandung
16.Jean Marie Stine, 2003, Mengoptimalkan Daya Pikir, Meningkatkan Daya Ingat
Dengan Mengerahkan Seluruh Kemampuan Otak (Terjemahan), Delapratasa Publishing,
Indonesia
17.Koentjaraningrat, 1992, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
18.Malinowski. Bronislaw., 1983, Dinamik bagi Perubahan Budaya, Dewan Bahasa,
dan Pustaka Kementerian pelajaran, Kuala Lumpur.

19.Mel Siberman, 1996, Active Learning, 101 Strategies to Teach Any Subject,
Temple University, USA
20.Paul Lengrand, 1984, Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Penerbit PT.
Gunung Agung, Jakarta
21.Sadiman. Arief. S. (Jurnal PT JJ Volume 1.1. – 2004), Pengaruh Televisi pada
perubahan Perilaku – beberapa Pokok Pikiran (Web-site: w.w.w. menegpp.go.id)
22.Taufiq Pasiak, 2003, Revolusi IQ, EQ, SQ, Antara Neurosains dan Al Qur’an,
Mizan Pustaka, Bandung
23.Toto Tasmara K.H., 2001, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence),
Penerbit Gema Insani, Jakarta
24.Hans-Dieter Evers, Editor A. Sony Keraf, 1988, Teori Masyarakat: Proses
Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta)

JUMPA RUTIN PELATIH

Untuk Seluruh Pelatih Pusdiklatcab Kota Bekasi, Mohon hadir dalam Jumpa Rutin Pelatih Kota Bekasi, Hari Sabtu, 12 Februari 2011 di Sekretariat Kwarcab Kota Bekasi.
Agenda Pertemuan : Persiapan Pitaran Pelatih Kota Bekasi

Minggu, 06 Februari 2011

KIM telah selesai dilaksanakan

Kepala Pusdiklatcab Kota Bekasi, Kak H. Kartama yang mewakili Ka.Kwarcab Gerakan Pramuka Kota Bekasi minggu sore tadi (6/2) telah menutup Kegiatan Kursus Instruktur Muda (KIM) Kwarcab Kota Bekasi. Kursus yang memang diperuntukkan untuk para Pramuka Penegak dan Pandega yang akan terjun untuk menjadi pembantu pembina di satuan satuan penggalang atau siaga ini berjalan dengan lancar dan sukses. Hal ini tentunya tak lepas dari kinerja DKC Kota Bekasi bersama jajaran sangga kerja serta dukungan dari Pusdiklatcab Kota Bekasi.

Peserta KIM terdiri dari 39 orang Penegak yang berasal dari pangkalan-pangkalan di seluruh Kota Bekasi  ini mengikuti kegiatan dengan sangat antusias dan dinyatakan lulus 100 % oleh Pemimpin Kursus, Kak Endar setelah melalui rapat Tim Pelatih. 

Para Pelatih dan narasumber yang terlibat berpartisipasi dalam kegiatan ini diantara lain :
  1. Kak. H. Kartama (Kepala Pusdiklatcab Kota Bekasi)
  2. Kak. Rd. M. Iqbal (Pusdiklatnas)
  3. Kak Syarifah Alawiyah (Ketua DKN)
  4. Kak Dadan Dani Dipoera (Andalan Daerah Jawa Barat Bidang Bina Muda)
  5. Kak Yana Suptiana (Wakil Ketua Kwarcab Bidang Bina Wasa)
  6. Kak Sarwa Astuti (Andalan Daerah Jawa Barat Bidang Bina Wasa)
  7. Kak Endar (Pusdiklatcab Kota Bekasi)
  8. Kak Asrul (Pusdiklatcab Kota Bekasi)
  9. Kak Layen (Pusdiklatcab Kota Bekasi)
  10. Kak Aji Husein (Pusdiklatcab Kota Bekasi)
  11. Kak Santi Eka Pertiwi (Wakil Ketua Dewan Kerja Daerah Jawa Barat)
  12. Kak Bahtiar (Pinsaka Kencana Kota Bekasi)
  13. Kak Kendi (Kepala Sekretariat Kwarcab Kota Bekasi)
  14. Kak Sujatmiko (Ketua DKC)
  15. Kak M. Zul (Purna Ketua DKC)


Segenap jajaran Pusdiklatcab dan DKC Kota Bekasi sebagai penyelenggara kegiatan mengucapkan terima kasih kepada para Pelatih dan Narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi wawasan, opini, inspirasi dan keterampilan kepada calon calon kader penerus kepemimpinan bangsa, Pramuka Penegak Peserta Kursus Instruktur Muda. Semoga Ikhlas Bakti Bina Bangsa Ber Budi Bawa Laksana.

Ucapan kebanggaan dan selamat disampaikan untuk 39 orang Penegak Kota Bekasi yang telah ditempa di kawah candradimuka selama 4 hari (3-6/2/2011). Tentunya kami berharap kakak-kakak semua bisa langsung turun membantu memberikan warna untuk gugus depan di Kota Bekasi sambil mengaplikan ilmu yang sudah didapat. Bina Diri Bina Satuan Bina Masyarakat.

Sampai bertemu di Kegiatan selanjutnya. Selamat melaksanakan pengembangan. Salam Pramuka